Sajian tradisional urap yang rasanya tak lekang oleh zaman – Begitu saya mencicipi hidangan urap, seketika membuat saya jatuh hati. Segarnya sayuran berpadu sempurna dengan bumbu dan gurihnya kelapa parut. Menimbulkan sebuah harmoni dalam tiap suapan.
Awalnya, saya minder untuk mengikuti kompetisi menulis blog challenge di Indonesian Food Blogger, dan berkompetisi dengan blogger lainnya. Bisa gak, ya? Mengingat tujuan saya menulis untuk healing dan sebagian lagi buat having fun, mengisi waktu produktif, terutama saat saya menulis tentang makanan.
Yes, makanan adalah sesuatu yang membuat saya bergairah! Dan ini adalah pertama kalinya saya mampu mengalahkan rasa minder itu, lalu ikut berkompentisi.
Saya teringat sebuah quote – “So many times people are afraid of competition, when it should bring out the best in us. We all have talents and abilities, so why be intimidated by other people’s skills?” – Lou Holtz.
Jika saya tidak berani, lalu kapan? Saya harus berani melepaskan ketakutan, rasa tak percaya diri, maupun emosi negatif lainnya, memerdekakan pikiran dan menyerahkan sepenuhnya pada universe.
Selanjutnya sebuah ide hidangan sederhana muncul di kepala, urap! Saya mau mengusungnya menjadi sebuah tulisan!
Kenapa urap?
Sadar gak sih, selama ini kita selalu euforia dengan masakan asing, contohnya salad dan kimchi. Kita pingin mencoba mencicipinya, pingin tahu rasa, supaya tidak ketinggalan dengan orang lain, bahkan pingin mengulik detail resep rahasia hidangan tersebut.
Hal sepele yang membuat saya merenung. Kita punya salad, salah satunya adalah urap – the real food salad asli Indonesia. Rasanya lezat. Tapi kenapa keberadaannya kurang populer? Kalah dengan kimchi maupun salad dengan guyuran saos kental mayones.
Apa nih yang salah?
Jadi saya pikir, gak ada salahnya saya mengulik tentang urap, sebagai salah satu cara ‘mencintai’ kuliner khas Indonesia. Sajian sederhana nan lezat dan memiliki nilai sejarah yang kuat di dalamnya.
Urap merupakan hidangan tradisional vegetarian Indonesia yang memiliki akar budaya yang kental. Masyarakat Indonesia, kebanyakan masyarakat agraris, terutama di daerah Jawa. Hidangan satu ini menjadi sajian penting dalam tradisi dan adat istiadat.
Urap sering dianggap sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan karena cara penyajiannya yang sederhana dan bahan-bahan yang mudah didapat. Hidangan ini bisa dimakan begitu saja, atau dijadikan sebagai makanan pendamping nasi beserta lauk pauk lainnya.
Mengulik sejarah urap
Kata urap berasal dari kata “urap-urap”. Dalam bahasa Jawa berarti “mengurapi” atau “melumuri.” Nama ini menunjuk pada proses pembuatan urap di mana sayuran yang sudah direbus atau dikukus dicampur dengan bumbu kelapa parut.
Menariknya, urap telah diketahui oleh masyarakat Jawa sekitar abad ke -10 M. Hal tersebut tertulis dalam Prasasti Linggasuntan yang berasal dari Kerajaan Medang. Pada prasasti tersebut, tercatat tahun pembuatannya, yakni tahun 929 Masehi.
Secara filosofis, urap dikaitkan dengan makna kehidupan yang selaras. Beragam sayuran beraneka warna melambangkan keberagaman, sementara bumbu kelapa yang menyatukan semua bahan melambangkan persatuan dan kebersamaan.
Sayuran yang diambil pun memiliki makna sehingga membuat sajian ini berarti. Kangkung yang hidup di darat dan air, melambangkan adaptabilitas. Kacang panjang memiliki arti panjang umur, bayam melambangkan kehidupan yang damai. Sedangkan tauge melambangkan kreatifitas tinggi.
Ini adalah salah satu bentuk kearifan lokal bagaimana leluhur menciptakan hidangan sederhana, menggunakan bahan – bahan lokal, sarat gizi, ditambah serta emiliki citarasa istimewa.
Misalnya di Jawa, urap bukan sekadar makanan sehari-hari, melainkan juga menjadi bagian penting dalam berbagai upacara adat, contohnya saat selametan (kenduri). Biasanya, urap disajikan bersama nasi tumpeng, ayam, telur, sambal goreng tempe dan lauk pauk lainnya.
Dalam konteks selametan tersebut, urap di artikan sebagai harapan agar masyarakat senantiasa bersatu dan hidup dalam keberagaman.
Ada juga upacara selamatan sepasaran untuk menyambut kelahiran bayi. Biasanya dilakukan saat bayi berumur lima hari. Saya ingat, sewaktu saya melahirkan, Mama membuat masakan, salah satunya adalah urap, kemudian membagikannya pada tetangga dekat.
Seiring perkembangan zaman, urap telah mengalami berbagai variasi baik dari segi bahan maupun cara penyajiannya.
Di Bali, ada hidangan berupa “lawar,” yang juga menggunakan campuran kelapa parut dan sayuran, namun dengan tambahan daging cincang dan bumbu khas Bali. Ada juga urap bulung boni atau lebih dikenal urap rumput laut.
Di sini, tidak menggunakan sayuran maupun daging cincang, melainkan menggunakan rumput laut mentah!
Resep urap versi tumis
Setelah beberapa kali membuat urap, saya mau membuatnya versi lain yaitu versi tumis! Tujuannya yaitu supaya lebih tahan lama.
Baik urap biasa, maupun versi tumis, rasanya sama – sama lezat dan tidak pernah membuat saya kecewa. Di sini, saya memakai bahan seadanya yang saya miliki di dapur.
Bahan
10 lonjor kacang panjang, potong sesuai selera.
Tauge secukupnya
1 mangkuk kecil kelapa parut [saya beli 2000 di warung]
Bumbu ulek
4 bawang merah
3 bawang putih
2 kemiri bakar
I ruas kencur
Cabe setan sesuai selera [bisa diganti dengan cabe besar]
Garam
Kaldu bubuk sapi
Cara membuat
Didihkan air, dan masukkan kacang panjang, rebus sampai matang. Tiriskan dan guyur dengan air dingin. Setelah itu sisihkan.
Selanjutnya, tumis bumbu ulek hingga wangi. Kemudian, masukkan parutan kelapa, campur rata.
Kemudian tambahkan kacang panjang rebus, taoge mentah, dan campur rata. Aduk – aduk hingga rata. Masak beberapa saat. Lalu tambahkan daun kencur jika ada.
Resep urap bulung boni aka urap rumput laut
Beberapa kali membeli ikan di Kedonganan, baru kali ini saya mendapati lapak yang menjual rumput laut.
Warna hijaunya cerah, bentuknya pipih, dengan tangkai – tangkai kecil dan butiran – butiran bulat di ujungnya. Kata penjualnya, namanya rumput laut jenisnya anggur laut. Harga perkilonya 15 ribu Rupiah.
Sontak, saya tergerak membelinya. Di Bali, menyebut rumput laut dengan “bulung”. Olahan uniknya banyak dijual di Pulau Serangan.
Sesampainya di rumah, saya cicipi dulu rumput laut tersebut, rasanya asin dan beraroma laut.
Bahan
Rumput laut anggur secukupnya, cuci bersih beberapa kali dengan air mengalir.
Kelapa, kupas kulit dan bakar sampai wangi
1 jeruk lemo
1 iris lengkuas
Kacang tanah goreng [optional]
Bumbu Sambal embe iris
2 bawang merah
2 bawang putih
5 cabe
Penyedap
Cara membuat
Tumis sambal embe sampai layu, sisihkan. Kemudian parut lengkuas dan kelapa secukupnya, masukkan ke dalam wadah, dan beri perasan jeruk lemo.
Setelah itu, masukkan rumput laut, sambal embe, berikut penyedap jika suka, dan campur rata. Kemudian pindahkan ke dalam piring saji, dan taburi dengan kacang tanah goreng. Voila! Enak! Aroma wangi kelapa bakar dan bumbunya pas sekali.
Duh kalo tahu enaknya begini, nyesel saya beli 10 ribu. Hahahahhaha.
Note
Dalam resep ini, saya tidak menggunakan garam, karena rasa anggur lautnya sudah asin. Saya juga tidak menambahkan terasi, karena takut bau amis. Tapi kalau kamu sukam silahkan saja.
Sekedar catatan.
Apabila kamu membuatnya, sebaiknya beberapa saat sebelum makan, dan langsung dihabiskan, supaya teksturnya tetap kres dan cruncy.
Dari sini saya semakin paham, masakan enak itu gak harus mahal, contohnya sajian tradisional urap yang rasanya tak lekang oleh zaman, bisa memantik rasa cinta mendalam pada keluarga dan kuliner Indonesia.
Cobain deh, siapa tahu kamu menyukainya.