Merindu jaje laklak – Entah, beberapa hari ini, jaje laklak menyedot pikiran saya. Keinginan untuk menikmatinya begitu kuat. Membayangkan rasanya yang legit dan teksturnya nan lembut, semakin menggoda hasrat. Dirasa – rasa seperti kangen pada pacar. Ceile… lebay.
Adalah jajanan Bali, berbentuk bulat, dengan taburan parutan kelapa dan kucuran kinca, sekilas mirip serabi Jawa.
Seperti serabi, jajanan basah ini terbuat dari tepung beras, campuran santan, daun pandan dan bahan – bahan lainnya, kemudian dimasak di atas wajan tanah atau besi.
Sajian ini, bisa untuk sarapan, teman ngopi, maupun untuk hidangan saat acara penting seperti selamatan, arisan maupun upacara lainnya.
Dulu banget, saya pernah membeli jaje laklak di pasar. Penjualnya ibu – ibu tua, rasanya enak, manis dan lembutnya pas.
Kini saya mau mengulangi kenangan itu dan membawanya ke tabung memori akan jajanan khas Indonesia.
Bagi saya, menikmati kue basah khas Indonesia adalah cara sederhana untuk mencintai makanan Nusantara. Saya sadari, semakin ke sini, jajanan lokal Indonesia, makin terpinggirkan. Anak – anak mulai jarang melirik, karena sudah terpapar oleh kue – kue kekinian.
Jika kita tidak mengenalkan mereka sedari dini, bagaimana kelanjutannya nanti? Masihkah jaje laklak dan jajanan ndeso lainnya eksis? Atau malah sebaliknya, hilang.
Merindu jaje laklak kemudian membawa saya ke pedagang kue pinggir jalan. Mereka menjual aneka kue basah, gorengan maupun nasi jenggo.
Merindu jaje laklak yang bikin kecewa
Ekor mata saya sekilas memperhatikan para pembeli. Bapak – bapak di sebelah saya pulang dari jogging dan pulangnya membeli kudapan. Di sebelahnya lagi, ada anak muda berpakaian rapi, membeli beberapa kue dan menyantapnya langsung di situ. Ada ibu – ibu juga antusias memilih gorengan.
Dengan sukacita saya membeli jaje laklak yang dibungkus mika ukuran kecil, berisi dua jaje laklak. Harga sebungkusnya 1000 perak! Sebagai pelengkap, saya tambahkan jaje klepon dan lepet.
Seperti anak kecil, dengan riang saya membawanya pulang, dan cepat – cepat mencicipinya. Hasilnya, saya kecewa. Rasa jaje laklaknya hambar, tekturnya agak keras, kincanya juga cair, gak kental. Sangat jauh dari ekspektasi saya.
Hello Endah, apa yang kamu harapkan dari makanan 1000 perak? Mak jegagik! Kesadaran itu menampar muka saya. Yes! Jaje laklaknya gak salah, pedagangnya juga gak salah. Yang salah itu saya. Wong harganya 1000 perak, coba kamu beli yang lebih mahalan, pasti rasanya lebih enak. Hahahaha.
Untungnya jaje lepetnya enak, sedangkan klepon, lumayanlah, meskipun gula merahnya sedikit. Jadi agak menghibur hati.
Berbicara tentang jaje laklak, gak ada salahnya jika kita mengetahui sedikit tentang sejarahnya, dan bagi saya itu sangat menyenangkan bisa mendapatkan tambahan pengetahuan berikut kearifan lokal dari suatu makanan.
Jadi tidak melulu tentang makanan enak, perut kenyang. Melainkan ada hal lain yang dapat kita petik dari makanan tersebut.
Sejarah jaje laklak
Bali, tak hanya pulau dengan seribu pura, menyimpan keindahan alam, budaya yang kental, juga memiliki kekhasan kuliner dengan sarat sejarah yang menarik untuk diketahui. Misalnya jaje laklak.
Konon, dalam perjalanan Dang Hyang Nirartha menyebarkan agama hindu di Bali, saat mereka melintasi hutan rimba raya [Jimbarwana]. Dang Hyang Nirartha masuk ke dalam mulut naga yang menganga.
Di saat mencari jalan ke luar. Dang Hyang Nirartha menemukan 3 tangkai bunga teratai di dalam perut naga, yaitu: tunjung biru, tunjung merah dan tunjung putih.
Dang Hyang Nirartha lalu mengambilnya, dan secara tiba – tiba dia bisa keluar dari perut naga. Anak dan istrinya terkejut, dan lari ketakutan melihat tubuh Dang Hyang Nirartha berubah berwarna warni.
Dengan sabar Dang Hyang Nirartha mencari anak dan istrinya. Putra dan putrinya berhasil ditemukan kecuali istri dan satu putrinya yang bernama Ida Diah Swabawa. Sayangnya mereka tidak ketemu, dan menganggap keduanya meninggal.
Selanjutnya supaya arwah anak dan istrinya tenang, maka Dang Hyang Nirartha melakukan upacara penyupatan, kemudian mendewakan keduanya sebagai Dewi Melanting di Pura Pulaki.
Di lain pihak Dang Hyang Nirartha memberikan anugerah pada putrinya yang tidak lari – Ida Rai Istri, sebuah kekuatan menguasai seluruh makhluk halus yang ada di alam ini (dengan gelar Ratu Niang Sakti).
Beliau bersedia dengan satu syarat sesajen berupa jaja laklak tape. Sejak saat itulah jaja laklak tape dikenal sebagai sebuah sarana upacara khususnya sebagai persembahan pada Bhuta-Bhuti agar tidak mengganggu kehidupan manusia.