Kenapa aku menulis? – Tiap orang memiliki alasan kuat untuk menggeluti sesuatu. Entah itu untuk sekedar hoby, maupun untuk aktualisasi diri. Salah satunya adalah menulis.
Ini adalah sekedar catatan, sebagai pengingatku untuk tetap optimis dan produktif berbagi dalam bentuk tulisan.
Dari kecil aku suka membaca, waktu itu majalah yang kusuka adalah Bobo. Tapi, karena keterbatasan ekonomi, aku tidak sanggup membelinya, dan cukup bahagia dapat meminjam majalah Bobo dari temanku.
Selanjutnya, semakin besar, keinginan membaca buku kian menggila. Aku lebih suka menghabiskan uang gaji untuk membeli buku daripada membeli make up. Alhasil. Aku tidak pandai berdandan [ha ha].
Tetapi, saat itu belum ada keinginan untuk menulis. Aku hanya menjadi seorang penikmat rangkaian kata.
Kemudian, setelah menikah, kesukaan membaca itu kutularkan pada anakku. Dari masih orok, aku membiasakan membacakan buku cerita padanya.
Ketika usia putriku 3 tahun, gantian dia membacakan buku cerita Franklin the turtle padaku saat memasak. Mengingat moment itu lucu sekali.
Yes, putriku memang sudah bisa membaca dan menulis di usia dini. Aku juga tidak tahu, kecepatan ini apakah karena dari masih dalam kandungan suka kudengarkan musik klasik, dan memperkenalkan flash card bergambar semenjak bayi merah.
Buku – buku kami mulai menumpuk, ada 1000 an lebih buku yang kami miliki. Saat kami pindah ke Jember, aku sempat membuka taman baca gratis di perumahan tempat tinggal kami. Tapi itu tidak bertahan lama.
Buku – buku kami banyak yang hilang, aku juga keteteran tidak bisa mengawasi anak – anak saat mereka membaca buku. Belum lagi perasaan jengah, ketika harus mengingatkan untuk mengembalikan buku.
Daripada aku pusing, akhirnya semua buku – buku itu kuhibahkan pada sekolah di kampung. Berharap, buku – buku itu bisa bermanfaat.
Awal mulai menulis
Ketika perkawinanku diterpa badai hebat. Aku butuh wadah untuk merelease semua kesakitan. Aku tidak mau menjadi wanita pendendam dan nyinnyir. Dari situ aku mulai termotivasi untuk mencurahkan isi hati lewat tulisan. Mula – mula aku memilih menulisnya di diary. Semua kemarahan dan sakit hatiku, kutumpahkan di situ.
Setelah puas, diarynya aku bakar. Kupikir, untuk apa juga menyimpan tulisan berisi makian dan amarah. Bikin sakit hati saja membacanya.
Setelah itu, aku mulai mengenal blog gratisan. Omahfidia adalah blog pertamaku. Itupun isinya macam – macam, keluh kesah, resep, cerpen dan cerbung. Selain itu, aku juga menulis di kompasiana.
Sayangnya, karena kesibukan membangun hidupku, akhirnya blog itu terbengkalai. Selanjutnya setelah lama berpikir, omahfidia kuhapus. Aku sadari, di situ banyak tulisanku yang masih mellow.
Kali ini aku mau berubah, dan lebih serius membangun personal branding yang kuat, tentang siapa aku.
Suatu hari aku bertemu salah satu kenalan, saat covid melanda. Kemudian dia bercerita tentang platform menulis novel. Jujur, saat itu aku tidak tahu sama sekali. Karena aku memang tidak pernah ikut – ikutan maupun bersinggungan dalam komunitas menulis.
Jika kenalpun, kami hanya kenal sebatas “hai” dan tidak intense berinteraksi. Jadi wajar jika aku gagap informasi tentang tulis menulis.
Selanjutnya, aku beranikan diri menulis Novel di Goodnovel, sembari menunggu pesanan makanan datang secara online. Sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, bagaimana aku bisa menulis novel sepanjang itu. Satu – satunya alasan kukira masuk akal adalah, aku menginginkan income tambahan.
Umurku 45 tahun, bekerja di hospitality lagi, sepertinya sudah tidak mungkin, mengingat pembatasan umur pencari kerja sekarang. Jadi aku harus realistis. Membayangkan bisa mendapat uang dolar dari rumah, itu sesuatu yang indah.
Faktanya, menulis di goodnovel, tak semudah yang kuperkirakan. Impian meraup dollar dalam sekejap, hanyalah fatamorgana. Di sana ada 4 novel yang telah kubuat, dan semakin ke sini, semakin ketat seleksinya.
Aku mulai berada di titik jenuh, aku butuh refresh, mencari sesuatu yang baru, di mana aku bisa menulis, tanpa tuntutan harus mengikuti trend yang disukai pembaca.
Lantas, aku meminta bantuan Allah untuk memilihkanku wadah menulis. Di situ aku teringat Gramedia writing project, dan Aksara buat Na, pertama kali kuposting di situ.
Dari mana ide menulis
Ide itu sebenarnya datang dari mana saja. Pengalaman, pengamatan kejadian sehari – hari, mendengarkan cerita orang, melihat youtube atau hal receh, semisal saat aktivitas di kamar mandi.
Bahkan saat aku membaui masakan, kadang ide menulis itu muncul. Ide juga datang saat melihat bunga, daun gugur, kucing mengeong ataupun saat mendengarkan sebuah musik.
Jadi, sebenarnya ide menulis itu sangatlah banyak dan variatif. Tinggal kita mau mencomotnya atau tidak sebagai suatu inspirasi tulisan.
Suka duka membangun personal branding sebagai penulis
Ada satu hal yang kupelajari, di saat hidupmu carut marut, membangun personal branding itu bukan perkara mudah. Selain mendapat cibiran orang – orang. Kepalamu pun akan diserang oleh pertanyaan – pertanyaan negatif tentang kamu.
Hal itu bisa dimaklumi.
Logikanya saja, siapa sih yang mau percaya sama kamu, wong hidupmu saja susah! Pekerjaan tidak ada, sok – sokan ngomongin personal branding. Mimpi! Orang akan lebih mudah percaya sama kamu, jika sudah ada bukti, dan masalahnya bukti itu bersifat materialistis.
Nah lho!! Ini tidak semudah bilang sarangheyo.
Membuktikan pada diri sendiri itu yang berat. Jika kita sendiri yang tidak percaya pada kemampuan diri sendiri, terus siapa lagi?
Teman? Hahahaha, mereka sudah mencibirmu sejak lama, dan itu yang sering kulawan tiap hari.
Kebanyakan orang yang kutemui meremehkan pekerjaan yang kulakukan saat ini. Mulut ini seketika terkunci jika ada pertanyaan.
“Memangnya ada yang baca?”
“Berapa penghasilan kamu sekarang?”
“Aku tahu kamu suka menulis, tapi kamu harus realistis, pekerjaan itu sulit menghasilkan uang.”
Terus bagaimana aku harus menjawabnya, dengan mematahkan fakta – fakta pesimisme mereka? Sedangkan aku tidak memelihara tuyul dan pesugihan.
Susah? Iya pake banget. Kadang sampai nangis – nangis aku meminta bantuan Allah, supaya mengangkat rasa putus asa, dan tetap menulis.
Aneh kan? Kenapa aku masih tetap menulis, padahal pekerjaan itu belum bisa memenuhi keinginan finansialku yang stabil.
Aku tahu, pekerjaan ini tak mudajh. Bagiku, menulis itu seperti healing. Aku bisa memuntahkan semua emosi yang kurasakan dalam bentuk tulisan, baik itu amarah, kecewa maupun refleksi. Menulis juga tempatku berbagi pengalaman, ide dan pemikiran.
Selain menulis, aku juga suka memasak, dan itu juga kutuangkan dalam bentuk tulisan. Tidak semua penulis, bisa memasak, pun sebaliknya.
Jadi, kenapa aku menulis? Ya memang karena aku suka menulis. Aku bersikap pasrah dengan semua nyinyiran tentang semua yang kukerjakan. Aku sadar, semua itu di luar kontrolku.
Yang harus aku jaga adalah “nyala api” untuk tetap menulis.
Alhamdulillah, jika someday, ada bukuku yang bisa meraup penghasilan besar. Bukan hanya aku dan keluargaku yang bahagia, Mama, Abah dan almarhum simbah juga pasti tersenyum di alam sana, melihat aku berhasil. Bismillah bisa!