Hujan – hujanan di Jatiluwih – Kami bergegas mempercepat langkah, mencari tempat berteduh, sebelum air hujan menelanjangi kami. Tapi ini di tengah sawah Jatiluwih! Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau padi berundak – undak, bak permadani khatulistiwa yang dihamparkan Dewa – Dewi.
Kami pun pasrah saat hujan mencium kulit kami.
Di tengah kepasrahan itu, tiba – tiba seorang guide yang sedang membawa 3 tamu Perancis mengulurkan 3 jas hujan plastik yang masih tersegel. “Silahkan pake ini, Bu. Tamu saya tidak mau memakainya!”
Mata saya membulat, tak percaya menerima kebaikan guide tersebut. “Terima kasih, Pak,” jawab saya riang, masih belum percaya, ada orang asing yang tergerak membantu.
Selanjutnya, kami pun meneruskan perjalanan, trekking di tengah sawah di tengah hujan yang lumayan lebat. Kami tidak peduli, meski sepatu kami basah. Kami tetap berjalan pelan, menyusuri jalan diiringi suara melankoli hujan yang begitu syahdu.
Moment yang membuat saya merenung. Sepertinya kejadian ini bukan suatu kebetulan. Keputusan memilih destinasi Jatiluwih daripada pantai maupun air terjun, kemudian terjebak hujan dan menerima kebaikan guide, merupakan serangkaian pelajaran dari Allah, menyentuh hangat mata batin untuk terus melangkah.
Sudah lama mata ini tidak dihibur oleh hamparan hijaunya padi di sawah. Suasana teduh yang membuat bergairah. Ya, bergumul dengan alam adalah hal istimewa yang selalu saya rindukan karena membuat jiwa tenang.
Sebulan terakhir, saya memang sedang bergelut dengan rasa “putus asa” yang nyaris mencabik optimism, dan membuat saya malas meneruskan hobby menulis buku.
Rasa ambisius ingin segera berhasil, dan membuat almarhum kedua orang tua saya bangga. Faktanya, bertahun – tahun keinginan itu belum tercapai.
Maka, ketika melihat teman – teman saya berhasil dengan pencapaiannya, sedangkan hidup saya masih terseok – seok. Hati ini rapuh, hingga lupa bersyukur. Astaghfirullah! Saya tertampar, meminta maaf padaNYA dan diri saya sendiri.
Terima kasih, saya diingatkan saat hujan – hujanan di Jatiluwih.
Sejarah Jatiluwih
Konon, nama Jatiluwih berasal dari kata JATON dan LUWIH. Jaton artinya jimat dan luwih artinya bagus.
Menilik dari artinya, Jatiluwih merupakan destinasi wisata populer daerah Tambanan yang berupa pemandangan sawah berundak – undak. Di mana para petaninya masih mempertahankan SUBAK serta menanam padi Bali secara tradisional, tanpa menggunakan bahan obat – obatan.
Para petani yang terlibat, paham betul tentang filosofi Tri Hita Karana (relasi keseimbangan antara Tuhan, manusia dan alam). Mereka merumuskan baik ritual, cara panen, hingga hal lain yang berkaitan supaya kawasan tersebut tetap terjaga,
Oleh karena itu, UNESCO telah menetapkap kawasan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) sejak 29 Juni 2012 karena memiliki keunikan dan ciri khas pada sistem pertaniannya, dan termasuk salah satu dari Catur Angga Batukaru yang mendukung Bali Cultural Subak System.
Hujan – hujanan di Jatiluwih
Untuk berlibur ke destinasi Jatiluwih, biaya masuknya 15 ribu/perorang. Harga tersebut untuk domestic, sedangkan biaya parkir mobil 5 ribu Rupiah.
Menuju tempat trekking, setelah dari pos masuk, kamu jalan terus hingga ke Restorang gong. Kamu bisa parkir di situ, dan masuk ke kawasan trekking.
Di sini, kamu bisa sepuasnya trekking maupun naik sepeda, menyusuri jalan yang telah disediakan. Jalannya bagus, banyak spot menarik untuk foto – foto.
Saya lihat ada dua warung beratapkan jerami yang dikelola warga lokal yang dipenuhi wisatawan asing. Mereka menjual kelapa muda, minuman, kripik lokal maupun beras dan teh beras merah yang dikemas plastik. Bagus juga untuk oleh – oleh.
Ada juga tempat duduk dari batang kayu dengan latar background sawah terasering. Indah pokoknya. Kamu bisa selfie – selfie di sini.
Di sini juga ada air terjun Yeh Hoo, sayang sekali kami tak bisa ke sana, karena sudah sore dan hujan masih menyertai.
Curah hujan di daerah Jatiluwih cukup tinggi, dan ini yang tidak kami antisipasi. Kami pergi begitu saja dari Jimbaran selepas dhuhur tanpa membawa payung maupun jas hujan.
Beruntung sekali ada guide baik yang memberikan jas hujan, sehingga kami masih bisa sepuasnya melihat pemandangan, walapun tak leluasa mengambil foto. Semoga saja, rezeki guide itu berlipat – lipat.
So, jika kamu memutukan untuk pergi ke Jatiluwih, pergilah saat matahari tidak terlalu panas, dan jangan lupa membawa payung atau jas hujan.
See you.