Catatan di pojok rumah sakit – Penggalan – penggalan cerita di rumah sakit membawa kesadaran baru bahwa family is everything.
Saat menulis ini, saya tak bisa menahan emosi dan membiarkan air mata saya bercucuran. Karena, dua hari ini, saya berkesempatan menjaga Ibu Mertua di rumah sakit. Hati saya mengharu biru antara senang dan sedih.
Senang bisa turut berbakti pada mertua, sedih, karena saya teringat dengan Mama yang sudah tiada. Dua hari yang memberikan pandangan dan pengalaman baru yang melibatkan hati tentang hubungan anak – ibu, suami – istri, menantu dan mertua.
Akibat susah signal, membuat saya mengabaikan jadwal posting video di Tiktok, Instagram, maupun menulis Goodnovel. Kemudian memilih menghabiskan waktu mengobrol serta mendengarkan cerita Ibu mertua, termasuk mengamati drama para pasien lansia yang dirawat di kamar tersebut.
Catatan cinta lelaki pada ibunya
Ketika mendengar kabar Ibu mertua sakit, sepulang kerja, suami langsung mengajak saya ke rumah sakit menjenguk ibunya.
Selama perjalanan hampir 1 ½ jam itu, diam – diam saya mengamati raut muka suami yang tampak tegang.
Sebagai anak pertama, saya mengerti pasti ada kekhawatiran dalam dirinya tentang kondisi sang ibu, hubungan mereka dekat dan suami adalah tempat curahan hati ibunya. Secapek apapun suami saya, dia akan datang untuk memastikan keadaan sang ibu baik – baik saja.
Ini juga terlihat pada adik – adik suami yang semuanya laki – laki. Mereka berbondong –bondong datang ke rumah sakit, kemudian bergilir berjaga malam.
Ibu bagi lelaki adalah cinta pertamanya, meskipun terkesan cuek, tetapi pada saat sang ibu sakit, mereka menjadi orang pertama yang sigap menjadi garda terdepan menjaga ibunya.
Walaupun mereka tetap saja bingung, bagaimana “menjaga” ibunya dalam artian melayani secara personal, ada rasa malu, karena mereka lelaki. Ujung – ujungnya tetap membutuhkan sentuhan menantu perempuan.
Catatan Mertua dan menantu.
Hubungan saya dengan Mertua dan Ipar datar, bisa dibilang just skin to skin, menjaga perasaan, karena adanya tembok “perbedaan agama, kultur dan budaya” seperti penghalang jiwa kami saling menyatu.
Meskipun saya berusaha untuk melebur dan menerima semua perbedaan, tetap saja tidak bisa fit dengan mudah. Butuh effort tinggi dan ego rendah yang menuntun saya untuk lebih berhati – hati dalam bertindak maupun berinteraksi.
Suami, memang mengikuti agama yang saya anut, meskipun begitu, sedari awal, kami berdua telah berkomitmen untuk tetap menjaga hubungan baik dengan seluruh anggota keluarga terutama hubungan antara anak – orang tua. Jangan sampai, gara – gara suami memilih saya, hubungan dengan orang tua dan saudara – saudaranya pecah akibat rebutan cinta dan perhatian. Waks! Jujur itu tidak mudah.
Menjalani hidup yang penuh liku, mendidik saya lebih memahami perasaan orang lain, “bagaimana jika saya di posisi mereka?” Kesadaran itu ternyata ampuh menjaga kewarasan untuk tetap membumi.
Maka, ketika tahu Ibu Mertua opname, saya tak segan menawarkan diri untuk turut andil menjaga beliau.ini juga untuk menjaga nama suami. Diterima alhamdulillah, gak diterima, ya sudah legowo.
Selanjutnya saya bersyukur selama dua hari kemarin, tembok penghalang itu terkikis perlahan. Saya bersuka cita ketika Ibu Mertua lebih terbuka kepada saya dan kami bisa mengobrol intim tanpa diribetkan dengan posting di media sosial.
Kok saya jadi bersyukur di rumah sakit gak ada signal, jadi fokus saya hanya melayani ibu mertua saja.
Di situ, saya mengerti, bagaimana pemikiran dan cintanya beliau pada anak – anaknya. Semua ibu – ibu itu sama, pengen dekat dengan anak, sebab bagi mereka, anak adalah bayinya walaupun mereka sudah berkeluarga, and it means a lot for me.
Pantes saja dulu simbah dan Mama senang banget ketika saya pulang ke Jember, karena mereka bisa melihat dan dekat secara langsung dengan saya. Ah… saya jadi kangen dengan keduanya. Alfatehah…
Catatan merawat lansia itu tak mudah
Selain Ibu Mertua, ada 4 pasien lansia yang dirawat di situ. 3 diantaranya dijaga laki – laki. Ada pasien yang rewel, maunya pulang, gak mau tidur, suka mengamuk dan mau kabur saja, akibat frustrasi anak – anaknya tidak mengerti. Sehingga membuat emosi anaknya naik.
Melihat dengan mata kepala sendiri, saya semakin sadar, merawat lansia itu tak mudah, lebih sulit dari merawat anak kecil. Butuh kesabaran hati dan menerima kondisi orang tua seapa adanya.
Bayangkan, yang kamu rawat adalah orang tua. Mereka pernah punya pengalaman hidup, dan kini mereka harus tergantung pada orang lain, tentunya ada perasaan – perasaan tak nyaman, dan muncul keinginan “memberontak.” Mereka ingin didengarkan dan dimengerti oleh anak – anaknya.
Sementara si anak, maunya, orang tua menurut, kalem, pengertian dan tak banyak tingkah/tuntutan. Padahal realitanya tidak begitu. Semua butuh kesabaran dan kelegowoan hati.
Catatan hubungan suami dan istri
Ketika merawat ibu mertua, kesadaran baru muncul. Bagaimana jika seandainya saya dan suami sama – sama sibuk bekerja? Pastinya akan muncul masalah baru yang rumit. Akan ada perdebatan panjang siapa yang mau menjaga beliau. Apalagi jika sama – sama workaholic, tidak mau mengalah dan lebih mementingkan pekerjaan.
Saya semakin mengerti, ketika wanita menikah, pilihannya menjadi terbatas, ia tidak sebebas laki – laki yang bisa melakukan banyak hal. Apalagi kalau punya anak dan tidak ada support system yang baik. Secara otomatis, langkah kamu menjadi tersendat – sendat.
Jika fokus kamu adalah keluarga, maka bekerja dari rumah adalah pilihan terbaik. Kamu bisa fleksible dalam mengatur waktu, urusan rumah tangga dan urusan lain bisa balance.
Pengalaman – pengalaman itu pula yang membuat saya paham petuah Simbah dan Mama, menikah itu bukan tentang hubungan dua orang laki – laki dan perempuan, melainkan hubungan tentang dua keluarga.
Menikah juga bukan saling unggul siapa yang paling berkontribusi mengurus rumah tangga.
Suami adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah, jangan sampai ada perasaan “paling penting” dan mau menjadi raja di rumah.
Sementara istri mengurus rumah tangga, jangan sampai ada perasaan “jadi babu.” Istri adalah penyupport utama suami, mengatur urusan rumah tangga, sekolah pertama anak, bendahara keluarga dan mengatur urusan lain.
Ketika suami pulang dari bekerja, dia sudah tenang, melihat rumah dalam keadaan bersih, anak sudah bersih dan makanan sudah terhidang. Itu adalah contoh basic. Apa jadinya, jika sama – sama bekerja, pulang ke rumah dalam keadaan capai kemudian melihat rumah berantakan, gak ada makanan, dan anak tidak tahu kemana.
Yang ada tensi naik dan ujung – ujungnya bertengkar. Mau begitu? Kalau saya nggak, saya tidak suka keributan. Lebih baik saya mengalah dan mencari cara lain untuk menghasilkan uang dari rumah.
Menikah itu sekolah terus menerus, bagaimana menjaga hubungan timbal balik, saling pengertian, menyatukan visi, menjaga komitmen supaya rumah tangga adem, ayem, tentrem, dan sejahtera. Apabila rumah tangga tentram, inshaallah rezeki mengalir, itu kata Simbah.
Catatan di pojok rumah sakit – awakening
Saya sebut awakening, karena kesakitan setelah kehilangan Mama, membawa kesadaran baru lebih dalam tentang apa tujuan saya hidup. Entah itu sebagai individu, istri maupun seorang Ibu.
Kini saya lebih terkoneksi dengan sekitar, membawa perspektif baru yang membawa saya ke pemikiran dari sisi yang “berbeda”.
Ini menjadi menarik, karena kini saya bisa melihat lebih dalam “orang dan situasi” yang membuat saya tidak mudah menjudge orang. Emosi mereka dapat dengan mudah saya rasakan, dan membuat ego saya lebih menunduk.
Pelajaran catatan di pojok rumah sakit, bersyukurlah jika kamu masih memiliki orang tua, sayangi, cintai mereka sepenuh hati tanpa perhitungan dan pamrih. Percayalah, jika mereka sudah tiada. Duniamu tak lagi sama.
Tolong ingat juga, tetaplah jadi orang baik bagi semua mahluk hidup di bumi.
Salam cinta dari Bali