Pulau Serangan Bali yang bikin penasaran – Bagaimana rasanya mengarungi laut dengan kapal tradisional? Imajinasiku mendadak aktif membayangkan naik kapal tradisional menjelajahi pulau – pulai kecil di Indonesia.
Saat aku duduk – duduk di tepi Pantai Mertasari, kuedarkan pandanganku ke seluruh tempat. Kemudian terhipnotis pada sebuah kapal tradisional yang berwarna coklat, dengan jendela – jendela kayu berbendera Indonesia. Untuk seperkian detik, aku terpesona.
“Itu pulau apa?” tanyaku pada suami. Dari Pantai Mertasari kelihatan sangat dekat sekali.
“Serangan.”
“Sebelum pulang, kita mampir ke sana yuk!” ajakku antusias.
Aku tidak tahu, kenapa aku sangat tertarik, seperti ada magnet yang mengajakku ke sana, padahal sebelum – sebelumnya gak. Bagiku itu adalah pulau misterius dan magis. Karena di sana ada Pura Sakenan dan tempat penangkaran penyu
“Tapi nanti, sesampainya di sana, jangan kecewa lho, pantainya sempit,” kata suami mengingatkan aku.
Aku mengangguk, karena tujuanku ke sana, sekedar memenuhi rasa penasaranku akan kapal tradisional tersebut.
Selanjutnya, setelah dari pantai Mertasari Sanur, kami langsung meluncur ke Pulau Serangan, dan tiba menjelang magrib.
Vibe Pulau Serangan yang berbeda
Dari jalan ByPass Ngurah Rai, kami berbelok ke kiri, menuju Pulau Serangan. Dari baru masuk, vibe yang kurasakan nuansanya sangat berbeda, dengan Pulau Bali. Aku merasa seperti pulang kampung.
Mata ini disuguhi oleh hijaunya tanaman mangrove yang rimbun. Kemudian, pemandangan sedikit terkotori oleh gunungan sampah di TPA SUWUNG.
Di sepanjang jalan, aku melihat para pedagang, mereka berjualan kopi, mie, dan makanan ringan lainnya. Sebagian bahkan ada yang menggelar tikar, dan beberapa anak muda – mudi mulai duduk bersantai menikmati sore yang tidak mendung, ada juga yang asyik memancing.
Sebagian lagi ada yang sedang sibuk berselfie di atas jembatan penghubung. Pemandangan di situ memang indah.
Kata Serangan dari kata Sira dan Angen yang memiliki makna ngangenin. Oleh karena kecantikan pulaunya, membuat pelaut – pelaut Bugis jatuh hati, mereka sengaja berhenti di pulau ini, sekedar membeli minum. Kemudian betah dan memutuskan untuk menetap. Lama – kelamaan, mereka membentuk kampung Bugis.
Sebelum reklamasi, Pulau Serangan memiliki luas sekitar 3 HA dan terpisah dari Pulau Bali. Apabila masyarakat Bali hendak sembahyang ke Pura Sakenan, mereka harus naik jukung.
Kemudian, pada tahun 1995, pemerintah melakukan reklamasi. Pulau Serangan yang semula luasnya hanya 3 HA kini menjadi sekitar 500 HA. Sebuah jembatan sepanjang 100 meter dibangun, untuk menghubungkan Pulau Bali dan Pulau Serangan. Sehingga masyarakat Bali yang hendak ke Pura Sakenan bisa menggunakan jalan darat.
Sayangnya, dampak negatif reklamasi tersebut, menimbulkan rusaknya terumbu karang. Fakta yang sangat menyedihkan bagi nelayan, karena ikan – ikan mulai berkurang. Selanjutnya proyek besar itu terhenti pada saar krisis ekonomi sekitar tahun 1998.
Sepintas catatan ke Pulau Serangan yang bikin penasaran.
Karena waktu sudah terlalu sore, tujuan kami saat itu hanya satu, yaitu ke pantai Serangan! Letaknya dekat dengan pelabuhan Serangan. Biaya parkir 5 ribu rupiah, untuk mobil dan 2 ribu rupiah untuk motor, dan sudah termasuk biaya masuk.
Kami melewati warung – warung penjual ikan bakar berjejer rapi, di pinggir hutan mangrove, termasuk restoran ikan bakar di atas kapal. Saat itu airnya sedang surut.
Selanjutnya, kami melintasi Pura Sakenan dan kelihatan sangat magis, dari jalan raya. Pura Sakenan ini dirikan sekitar tahun 1178 M, oleh Mpu Kuturan, sebagai perwujudan rasa syukur dengan keindahan pulau ini.
Di pinggir – pinggir jalan, terdapat sekumpulan lelaki yang sedang mengobrol. Ibu – ibu yang sedang melayani pembeli, dan sedikit sekali anak – anak yang berkeliaran bermain di luar. Kenapa pikiran saya menginginkan melihat anak – anak bermain bola di pantai yah?
Sebelum sampai pantai, kami melewati tempat penangkaran penyu, dan beberapa café.
Benar kata suami, pantai Serangan sangatlah sempit, meski begitu, bersih dan cukup nyaman untuk berenang.
Jika mau duduk – duduk di atas pasir, atau mau duduk di café juga boleh, sembari melihat lalu lalang kapal nelayal, fast boar atau kapal tradisional yang bersandar.
Suasananya amat teduh, dan tenang. Aku terkejut, ketika mendengar suara adzan membahana. Masyaallah, senang sekali mendengarnya.
Aku baru tersadar, di sini ada sebuah masjid yaitu Masjid Asy – Syuhada – merupakan masjid tertua di Bali yang di bangun sekitar abad ke 17. Konon di sini masih tersimpan alquran dari pelepah pohon pisang dan sebuah makam kuno.
Karena malam sudah merangkak naik, kami memutuskan untuk tidak berlama – lama di pantai dan memutuskan segera kembali ke rumah. Satu catatanku dalam perjalanan kali ini, andai aku tidak mengikuti “curiosity” aku tidak akan pernah tahu tentang adanya masjid tua di Bali, pura sakenan maupun tentang cerita sedih dibalik adanya reklamasi.
Hal itu mengajariku untuk terus membumi, dan berpikir supaya selaras dengan alam. Setidaknya mulai dari diri sendiri dulu. Jika alam kita jaga, mereka pasti akan menjaga kita.
Salam cinta dari Bali